A year called 2017
In any given moment we have two options: to step forward into growth or to step back into safety
2017 was a year of heartbreak and
letting go. 2017 tahun di mana gue berada dalam grieving stages yang berulang-ulang
dengan objek yang sama (spoiler alert: sebelum lo muak gue ingetin aja ngga
usah baca paragraf ini dan bisa loncat ke paragraf selanjutnya hehe) tentang
kehidupan percintaan gue yang sebenarnya sudah berakhir sejak awal tahun tapi
proses grievingnya memakan waktu hampir setahun. I know it’s seems lebay dan
cliché. Oke let’s call it after heartbreak stages aja kali ya gausah grieving.
Mungkin saat ini gue juga nggak yakin sih apakah gue udah fully accepted. Masa-masa
denial dan marah di awal tahun yang gue akui membuat gue sangat nggak
professional karena cukup mengganggu performa gue, lalu mulai bargaining yang
mana gue nggak bisa apa-apa karena dia nggak ada. Idealnya ketika lo di masa
bargaining dan tersadar hal yang lo minta nggak akan terjadi lagi maka lo akan menerima
keadaan dan move on. Nah ketika gue memasuki bargaining eh out of nowhere dia
muncul tanpa ngerasa dosa yang makin membuat gue berharap dan jadi nggak
belajar. Sampe detik ini bahkan. Keliatannya susah move on banget anaknya, tapi
ya gimana mau move on kalau dia muncul-hilang dengan his cycle pattern yang
nggak tentu membuat makin berat. Mungkin selain dengan cara gue pergi, InsyaAllah
aku mau menutup 2017 dengan menutup kamu juga.
Well selesai ya cukup sampai di
sini menye-menye gue. Di sisi lain, gue mengalami peningkatan karir yang cukup
melejit *woela* dari yang dua tahun ini yang gitu-gitu aja. Gue bahkan sampe
sekarang masih nggak nyangka juga sih I made it, and here I am enjoying my last
sunset in an island people called heaven, Tana Humba, Sumba. Setidaknya ada hal
yang gue syukuri tahun ini, well sebenernya nggak cuma hal itu aja sih tapi
banyak hal baik lainnya seperti hal-hal di bawah ini:
0 comments:
Post a Comment